Info Berita Terhangat - Sebenarnya Afrika Selatan (Afsel), terutama Cape Town, amat dekat dengan
Orang Indonesia kurang tahu banyak tentang Cape Town atau
Afsel. Sebaliknya, orang Cape Town, yang disebut Cape Malay, kurang tahu
tentang Indonesia. Jika bicara soal Melayu, maka mereka kira itu hanya
Malaysia.
Secara geografis, Indonesia dan Afsel memang jauh.
Menuju ke sana atau sebaliknya bisa ditempuh melalui perjalanan udara
selama 23 jam. Namun, ada napas budaya Indonesia yang cukup terasa di
Afsel, terutama di Cape Town.
Sebuah grup opera yang disutradarai
Luqmaan Adam saat tampil di Bloemfontein membawakan lagu Indonesia yang
dipopulerkan Krisdayanti, berjudul "Menghitung Hari". Namun,
sang penyanyi memperkenalkannya sebagai "Malaysian song". Sebuah
kesalahan yang mungkin tak mereka sadari, sekaligus menyedihkan karena
produk Indonesia dikira Malaysia.
Cape Town didominasi warga
kulit berwarna atau coloured. Mereka keturunan campuran orang Indonesia,
kulit hitam, putih, India, dan lainnya. Mereka itulah yang disebut Cape
Malay. Saat ini, di Cape Town diperkirakan ada 160.000 warga Cape
Malay.
Sebagian besar dari mereka keturunan para budak yang
didatangkan VOC pada abad ke-17. Cape Malay menjadi sebutan karena
keturunan dari Melayu sangat dominan.
Dirunut ke belakang, jumlah
budak yang dibawa VOC ke Cape Town sebesar 31,47 persen. Jumlah ini
adalah jumlah terbesar kedua setelah India (36,30 persen) yang kini
keturunan mereka lebih banyak tinggal di daerah Natal. Adapun budak dari
Malaysia hanya 0,49 persen.
Hanya, waktu itu belum ada negara
serta nama Malaysia dan Indonesia. Orang Indonesia juga disebut Malay
(Melayu). Dan, nama Malay itu bertahan sampai sekarang, meski Nusantara
sudah merdeka dan memakai nama Indonesia.
Wajar saja jika
kemudian semua yang berkaitan dengan Melayu atau Indonesia disebut
Malay. Ketika ada orang Indonesia ke Afsel pun mereka sering disapa
sebagai orang Malaysia.
Minim Silaturahim Budaya
Indonesia
dan Afsel sebenarnya sudah melakukan hubungan erat sejak 1994. Namun,
tampaknya silaturahim budaya kurang banyak terjadi. Dengan demikian,
banyak warga Cape Malay awam yang kurang tahu banyak tentang Indonesia.
Bahkan, ada yang mengira Indonesia bagian dari Malaysia. Pasalnya,
mereka hanya tahu bahwa negara Asia Tenggara adalah Malay.
"Oh,
ternyata ada persamaan besar budaya kami dan Indonesia. Saya baru tahu
jika banyak budak Indonesia yang dibawa ke Afsel. Benar, saya banyak
mendapat informasi baru setelah bertemu Anda," kata Karim, warga Cape
Malay yang kemungkinan juga punya darah Indonesia.
Dia tak tahu
data budak Indonesia dan Malaysia. Dia juga tak mengerti bahwa beberapa
bahasa Afrikaan diambil dari kosakata Indonesia. Yang dia tahu, dia
keturunan coloured yang sebagian besar nenek moyangnya orang Malay.
Ketika
Karim memperkenalkan saya dengan masyarakatnya, banyak yang tertegun
seperti halnya Karim. Mereka kaget, ternyata banyak budaya dan bahasa
Indonesia yang sama dengan budaya dan bahasa mereka. Seperti halnya
Karim, mereka sempat mengira bahwa persamaan itu datang dari Malaysia,
sedangkan Indonesia adalah negara belahan lain yang tak ada hubungannya
dengan Cape Malay.
"Ha-ha-ha-ha.... Ternyata banyak kata yang
sama ya," ujarnya ketika saya menjelaskan persamaan kata Indonesia dan
Afrikaan, bahasa mereka.
Beberapa persamaan itu antara lain kata
"terima kasih" (orang Cape Town menulis tramakasie), belajar, berkelahi,
piring, pisang, rokok, dan sebagainya.
Menurut buku "Indonesians in South Africa: Historical Links Spanning Three Centuries",
orang Indonesia juga bangsa asing pertama yang didatangkan VOC ke
Afsel. Orang Indonesia pula, dimotori Syeikh Yusuf dari Goa (sekarang
Gowa), Makassar, yang membawa agama Islam ke Afsel. Bahkan, makamnya
masih ada di daerah yang dulu disebut Zandvliet dan sejak lama berganti
menjadi Kampung Macassar.
Yang menyedihkan, orang Afrika Selatan
tak tahu bahwa batik yang sering dikenakan tokoh mereka, Nelson Mandela,
berasal dari Indonesia. Ketika ditanya pakaian Mandela itu, mereka tak
menyebut batik, tapi "Madiba's Shirt". Madiba adalah sebutan sayang
untuk Mandela.
Program Tukar Pelajar
Salah kaprah itu menjadi tugas besar Indonesia. Harus ada silaturahim yang kuat, baik secara kultural maupun edukasional.
Itu
pula sebabnya, Kedutaan Besar RI di Pretoria mulai menjalankan program
Darmasiswa. Program ini memberi beasiswa kepada orang Afsel untuk
belajar di Indonesia sehingga mereka nanti diharapkan akan memberi
informasi yang benar kepada masyarakatnya tentang Indonesia.
Selain
itu, setiap tahun KBRI juga menggelar pertunjukan di Afsel,
memperkenalkan budaya Indonesia. Dengan demikian, lambat laun masyarakat
Afsel akan benar-benar dekat dengan Indonesia. Pasalnya, pada dasarnya
kedua negara ini amat dekat secara kultural dan genetis, terutama
masyarakat Cape Malay.
Namun, melihat kesalahkaprahan itu, perlu
kegiatan atau hubungan yang lebih intensif dan kreatif karena kedekatan
hubungan akan berimbas ke banyak hal, baik ekonomi, politik, sosial,
maupun budaya.
Indonesia, baik orangnya maupun budayanya. Seolah, jaraknya hanya
sejengkal. Namun, karena kurangnya "silaturahim", rasanya menjadi amat
jauh.
No comments:
Post a Comment