Berita Hangat - Di atas kertas Indonesia memang berjaya. Lihat saja, jumlah penduduknya
yang besar. Betapa kita kadang sangat berbangga dengan itu.
Lalu,
lihatlah tingkat penggunaan ponsel di Indonesia. Tergantung siapa yang
Anda tanyakan, penggunaan ponsel di Indonesia konon sudah melampaui
jumlah penduduknya.
Di antara pengguna ponsel itu, menurut data GfK 2012, 20 persennya adalah pengguna smartphone. Kisarannya, di angka 15 juta pengguna.
Jadi, sebenarnya, besarkah pengguna smartphone atau gadget lainnya di Indonesia? Rupanya, bagi banyak pihak, angka ini memang cukup besar.
Apalagi ditambah prediksi dari berbagai lembaga riset yang menyebutkan pertumbuhan pengguna smartphone di Indonesia akan menjadi salah satu yang tercepat di Asia Tenggara.
Pasar besar, panggung kecil
Ya,
Indonesia memang dianggap sebagai sebuah pasar yang besar. Maka entitas
asing, baik produk ataupun layanan pun masuk Indonesia dengan derasnya.
Serunya, Indonesia memiliki karakter yang berbeda dengan pasar
besar yang ada di tempat lain. Sebuah produk yang laris manis di Amerika
Serikat, misalnya, belum tentu disambut gegap gempita di negeri ini.
Tapi
bukan berarti tidak ada pelajaran yang bisa diambil dari Indonesia.
Mereka yang terjun ke Indonesia, dengan upaya terbaiknya berusaha meraup
pasar Indonesia, tentu bisa mendapatkan pelajaran untuk diterapkan di
pasar yang lain.
Sebagai pasar yang besar, Indonesia bisa jadi
semacam lahan percobaan. Sebut saja sebuah panggung kecil sebelum
bergerak ke arena yang lebih besar (global). Walaupun, "panggung kecil"
ini saja sebetulnya cukup untuk menjadi panggung utama bagi pihak
tertentu.
Tak heran jika kemudian Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengajak investasi di Indonesia saat membuka Konferensi
Tingkat Tinggi Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Bali, Minggu,
6 Oktober 2013.
"Sebagai marketing director Indonesia
Inc, perusahaan yang berbentuk negara, saya mengundang Anda semua untuk
meningkatkan bisnis dan peluang investasi di Indonesia," tuturnya.
Siapa tokoh utamanya?
Di
satu sisi ada keinginan mendatangkan investasi asing, yang akan membawa
devisa dan (harapannya) ikut memutar roda ekonomi dalam negeri. Di sisi
lain adalah keinginan untuk menumbuhkan industri dalam negeri.
Dan
kedua hal itu memang bisa —bahkan harus— dijalankan secara bersamaan.
Mereka yang datang berinvestasi (menginvasi?) Indonesia, silakan datang.
Tapi Indonesia sendiri harus mampu melahirkan kekuatan yang mampu
bersaing.
Di sektor gadget, harapannya sudah ada, meskipun baru
sedikit saja. Lihat saja merek lokal, seperti Mito atau Cross (sekarang
Evercoss) yang terus bergeliat di segmennya.
Atau, lihat juga
lini Andromax dari Smartfren yang terbukti masih punya taring di segmen
tertentu. Perangkat yang lahir dari kebutuhan untuk memasarkan layanan
data berbasis CDMA ini sekarang menjadi segmen tersendiri yang cukup
"menggigit" di pasaran.
Belum lagi produk dari MLW Telecom yang
mengusung merek Speedup. Setelah banyak bertarung di arena modem dan
kartu data, Speedup mulai berani unjuk gigi di arena tablet dan smartphone.
Ya, beberapa pihak mungkin akan berkomentar begini: "Itu kan produk-produk buatan China yang dikasih merek Indonesia!"
Pernyataan
itu tak sepenuhnya benar. Pertama, produk-produk itu memang diproduksi
di China (atau Taiwan). Apa salahnya dengan hal itu? Bukankah perangkat
Apple juga Made in China, tapi Designed in California?
Kedua, tidak semua jajaran produk "merek lokal" tadi adalah murni repackaging. Ada juga yang mengalami proses intelektual di Indonesia. Ya, semacam Designed in Indonesia, Made in China lah.
Tapi
tulisan ini tidak bermaksud untuk meminta konsumen menggunakan
produk-produk di atas semata-mata karena memiliki merek Indonesia.
Keputusan untuk membeli haruslah berdasarkan: mutu produk, kebutuhan
konsumen, dan nilai produk.
Jika prasyaratnya memang belum terpenuhi, untuk apa memaksakan diri menggunakan produk yang tidak cocok?
Berani premium dong!
Memang,
produk merek lokal tidak seharusnya identik dengan harga murah.
Produsen harus berani berkata: "produk kami bermutu bagus, dan layak
bersaing dengan produk unggulan merek asing!"
Produsen perangkat
lokal saat ini pun mulai berani menjual produk premium. Artinya, produk
yang memiliki kualitas bagus, dirancang lewat proses intelektual di
dalam negeri, dan harganya juga layak.
Sebagai contoh di negeri
lain, lihat saja Oppo —produsen asal China— yang berani menghadirkan
perangkat premium berbasis Android. Meski belum sebeken Samsung atau
HTC, misalnya, produk Oppo sudah bisa dibandingkan dari sisi kualitas.
Masih
dari tempat yang sama, lihatlah Xiaomi. Belum lama ini, perusahaan itu
menarik perhatian karena berhasil menggaet Hugo Barra, eksekutif Google
yang menangani Android.
Kalau mau melihat contoh lokal, tapi
dari sektor industri yang berbeda, mari mengarahkan pandangan ke
Yogyakarta. Pada sebuah produsen tas bernama Nokn Bag.
Produsen
asal Yogya itu mampu menghadirkan rangkaian produk dengan desain unik
dan sistem modular, yang membuat konsumen memiliki pilihan luas pada
produknya.
Boleh dibilang, Nokn Bag ini ibaratnya Timbuk2, produsen tas dan apparel asal San Francisco. Kekuatannya ada pada local pride dan mutu yang tidak main-main.
Patut
dicatat, harganya pun cukup premium. Nokn Bag tidak malu-malu menjual
produk yang harganya "wah", agaknya karena mereka yakin bahwa mutu
produknya memang layak.
Sudah saatnya, di sektor produk
teknologi alias gadget, Indonesia juga memiliki produk yang mutunya bisa
disandingkan tanpa malu-malu dengan produk merek asing ternama.
Ini
bukan soal nasionalisme. Ini soal meningkatkan mutu pelaku industri
dalam negeri. Jadi di "panggung kecil, pasar besar" yang bernama
Indonesia ini, kita juga harus bisa jadi tokoh utama.
Source
No comments:
Post a Comment