Berita Hangat - Langit Natuna, Kepulauan Riau, seperti robek oleh suara keras. Enam
“elang besi” Hawk 100/200 menderu, meliuk-liuk sambil menjatuhkan bom
berbobot ratusan kilogram. Sasarannya satu objek di sebuah pulau kecil.
Dari arah lain melintas tiga pesawat F-16. Empat bom meluncur ke sasaran.
Tak
lama, muncul pula tiga pesawat Sukhoi SU-27/30. Di tiap tubuh pesawat
garang itu, tersemat 6 bom yang lalu dilepas menumbuk sasaran. Bak
kelincahan seekor alap-alap, Sukhoi terakhir melontarkan puluhan roket.
Sasaran pun hancur lebur.
Asap membubung tinggi. Tapi serangan
belum berakhir. Sebagai penutup, tiga pesawat EMB-314 Super Tucano
melintas. Bom kembali berjatuhan.
Di atas sasaran yang remuk
redam itu, melintas tujuh pesawat C-130 Hercules. Ia terbang tenang
dikawal dua Sukhoi 27/30 bersenjata rudal. Dari lambung pesawat,
ratusan personel Pasukan Khas Angkatan Udara melompat terjun. Di darat
kelak, mereka bertugas menyapu sisa-sisa musuh yang menguasai objek
vital di Natuna, wilayah Indonesia yang berbatasan dengan Laut China
Selatan yang sedang disengketakan lima negara itu.
Inilah aksi
penutup Latihan Operasi Udara dengan sandi “Angkasa Yudha 2013” yang
digelar di Pulau Natuna, pada Kamis 31 Oktober 2013 lalu. Kepala Staf
Angkatan Udara Marsekal TNI Ida Bagus Putu Dunia mengatakan, latihan ini
untuk membina kemampuan dan kekuatan TNI AU, agar lebih siap siaga
menghadapi kontijensi.
Yang jadi “bintang” saat itu boleh
dibilang enam Sukhoi yang terbang dari Lapangan Udara Hasanuddin di
Makassar. Total ada 16 Sukhoi bermarkas di Makassar, membentuk Skuadron
Udara Tempur 11.
Ini semacam kebangkitan skuadron tempur
wilayah Timur Indonesia setelah lama kekuatannya bolong. Pesawat tempur
bercat dasar abu-abu terang bercampur loreng abu-abu tua ini terdiri
atas dua macam, yakni SU 27 SKM dan SU30MK2. Pembeda utamanya adalah SU
27 hanya punya satu kursi pilot, sementara saudaranya punya dua kursi
pilot.
Saat VIVAnews mendatangi Markas Skuadron, Kamis
31 Oktober pagi, tampak hanya 10 Sukhoi terparkir. Enam lainnya sedang
beroperasi di Natuna. Di kantor dan gedung teknisi yang berada di
samping pesawat tempur diparkir, tampak sebuah spanduk besar terpampang
bertuliskan, “Siapkan pesawat sebaik-baiknya seolah-olah hari ini ada
perang”.
Perang itu memang masih jauh. Tapi, personel di Skuadron
11 berlatih keras setiap hari, minimal 8 jam. Pesawat diistirahatkan
meski tetap siaga antara Jumat sampai Minggu saja. Pagi, sebelum memulai
latihan (training air), para petugas dan pilot terlebih dahulu
apel siaga. Teknisi sudah terbagi-bagi ke dalam beberapa bidang, selalu
memastikan pesawat dalam keadaan siaga penuh.
Persenjataan terbaru yang terpasang di pesawat adalah kombinasi jenis Air to Air to Ground.
Sukhoi bisa menyergap di udara dengan daya jelajah jauh. Ia juga mampu
serang target di darat dengan peluru kendali atau bom pintar. Dia bisa
membawa rudal udara ke udara RVV-AE active radar homing, rudal udara ke permukaan KH- 29T(TE), KH-29L, KH-31P, KH-31A dan bom pintar jenis KAB 500Kr dan KAB-1500Kr.
Yang
lebih asyik, Sukhoi SU 27SKM dan SU30 MK2 ini telah dilengkapi
instrumen isi ulang bahan bakar di udara. Jadi, kemampuan jelajah
tempurnya kian jauh.
Jelas, kecanggihannya tak kalah dengan F15
SG milik Singapura atau Super Hornet milik Australia. Di udara, bisa
ofensif, namun juga bisa menghancurkan sasaran di laut dan darat.
Sempurna untuk patroli udara untuk menjaga kedaulatan wilayah dan
menghancurkan sasaran strategis musuh.
Minimum Essential Force
Dua
di antara 16 Sukhoi di Makassar ini tiba dari Rusia pada Rabu malam, 4
September 2013, genap jadi lima unit Su-27 SKM dan sebelas unit Su-30
MK. Pesawat-pesawat tempur ini diterima dari Pemerintah Rusia/JSC
Rosoboronexport oleh Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro. Ini kiriman
ketiga tahun ini.
Sukhoi menjadi andalan, karena di saat
alutsista Indonesia mulai menua di akhir 1990-an, Amerika Serikat yang
menjadi pemasok utama mengembargo Indonesia akibat pelanggaran hak asasi
manusia di zaman orde baru berkuasa.
Itu sebabnya, saat menjadi
Presiden pada 2001, Megawati Soekarnoputri melirik Rusia. Negeri
beruang salju itu dipilih sebagai alternatif mengganti armada yang
menua. Pada 2004, sejumlah Sukhoi pun mendarat di Lanud Iswahyudi,
Madiun. Megawati pun seperti mengulang sejarah ketika ayahnya, Soekarno,
membangun armada udara Indonesia dengan mengandalkan pesawat-pesawat
tempur buatan Uni Soviet.
Saat perayaan Ulang Tahun TNI ke-68 di
Lapangan Udara Halim Perdanakusumah, 5 Oktober 2013, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menyatakan kekuatan alat utama sistem pertahanan
(alutsista) akan meningkat signifikan hingga akhir tahun 2014. Untuk
memodernisasi alutsista sekaligus meningkatkan kualitas sistem
pertahanan RI, pemerintah telah menjalin kerjasama dengan industri
pertahanan di dalam dan luar negeri, kata Presiden.
Sejumlah
negara pada akhir Oktober lalu membeberkan kerjasama pertahanannya
dengan Indonesia. Indonesia bekerjasama dengan negara-negara di kawasan
Asia, Amerika sampai benua Eropa.
Wakil Menteri Pertahanan
Sjafrie Sjamsoeddin menyatakan, pengalaman embargo militer AS atas
Indonesia pasca-1998 menjadi pelajaran untuk tidak menggantungkan
persenjataan pada satu negara saja. Kekuatan pertahanan nasional akan
dibangun dengan mengambil teknologi dari berbagai negara. Tak lupa,
industri strategis dalam negeri diperkuat, seperti PT Dirgantara dan PT
Pindad.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara, Marsekal
Madya Hadi Tjahjanto, menyatakan, pembelian pesawat ini dipatok sampai
2024. Total, ada 102 pesawat yang akan didatangkan, antara lain 16 unit
Sukhoi, 24 unit F16 dari Amerika Serikat, sekuadron T50 buatan Korea
Selatan untuk menggantikan Hawk buatan AS, 8 unit pesawat latih G120PP
buatan Jerman, 16 unit pesawat Embraer Supertucano buatan Jerman, 9 unit
CN295 dari Spanyol, 4 unit Hercules hibah dari Australia dan sejumlah
helikopter Fennec dari Prancis. “Semua Pesawat ini akan didatangkan
secara bertahap,” kata Hadi.
Dari Rusia, selain membeli Sukhoi,
Indonesia juga mendatangkan kendaraan tempur laut dan amfibi, helikopter
serang MI-35, helikopter serbu MI-17 dan tak lupa, peluru kendali.
Sjafrie menyatakan, alutsista Rusia jadi ‘idola’ karena menjawab kebutuhan minimum essential force (MEF).
”Yang kedua, harganya kompatibel. Ketiga adalah dia tak punya prasyarat
politik,” kata mantan Kepala Pusat Penerangan TNI itu.
Anggaran
modernisasi dan perawatan alutsista TNI sampai akhir tahun 2014 ini
tercatat Rp99 triliun, dan Kementerian Pertahanan masih membutuhkan
tambahan anggaran Rp57 triliun. “Kami prioritaskan mencari alutsista
bergerak seperti pesawat temput dan tank. Sementara alutsista yang tak
bergerak seperti radar,” kata Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.
Dengan anggaran sebegitu besar, Sjafrie Sjamsoeddin menyatakan, kekuatan armada udara ini baru akan mendekati minimum essential force
yang dipatok sampai 2019. “Bagaimana kita bisa memiliki kemampuan
minimal agar kita bisa memiliki suatu daya pukul yang dahsyat dan juga
mobilitas yang tinggi,” kata Sjafrie.
Dari mana duit itu
berasal? Angka lebih dari Rp150 triliun itu salah satunya didapatkan
dengan pinjaman luar negeri US$6,5 miliar dolar. ”Jadi yang kita
pergunakan kurang lebih 4 miliar dolar, artinya kurang lebih 41 triliun.
Sisanya kita mesti jadikan semacam cadangan untuk dipergunakan pada
prioritas kedua. Sekarang prioritas pertama dulu,” kata Sjafrie.
Lima
tahun ke depan, setelah armada udara tempur nyaris lengkap, prioritas
berikutnya penambahan Radar. Soal alat ini, Indonesia memang gawat. Ada
radar yang tidak berfungsi 24 jam. Tapi sekarang, ”radar untuk kawasan
barat sudah ter-cover, secara kuantitas. Kemudian kawasan timur yang kemudian akan kita isi segera,” kata Sjafrie.
Kadispen
TNI AU menambahkan, rencananya radar ini akan ditempatkan di
Singkawang, Kalimatan Barat; dan Tambolaka, Nusa Tenggara Timur. “Dengan
radar ini pesawat asing bisa dideteksi,” kata Hadi.
Perlu transparansi
Dengan
lengkapnya satu skuadron Sukhoi di pangkalan Makassar, Indonesia boleh
sedikit sumringah. Tapi Direktur Program di Research Institute for
Democracy and Peace (Ridep), Anton Aliabbas, menyatakan pengadaan Sukhoi
perlu dicermati karena belum teruji.
Kata Anton, Shukoi memang
hebat secara teknis namun dikenal boros bahan bakar. Lalu persenjataan
dan amunisi juga belum jelas. Sehingga, ”kualitas kita belum tahu,” kata
jebolan Defence Studies Crankfield University, Inggris, itu.
Anton
setuju, hingga 2024, Indonesia fokus pada penyediaan alutsista dulu.
Baru setelah itu membangun industrinya sendiri. Dia melihat ada
kebutuhan memperkuat sistem pertahanan udara segera. Di Jakarta saja,
misalnya, Anton melihat penurunan sistem pertahanan udara.
“Dulu
di zaman (Presiden) Soekarno, kita punya berbagai terminal rudal di
Jakarta. Dulu ada di Priok dan Tebet. Namun sekarang tidak ada bekas
(terminal rudal). Sekarang malah jadi perkampungan penduduk,” kata
Anton.
Tapi di balik kegagahan meliuk di langit nusantara,
pengadaan jet tempur yang masuk dari bagian paket proyek alutsista
berongkos total hingga Rp 150 triliun itu perlu transparansi. Apalagi,
kata dia, untuk jangka menengah, lebih dari Rp 400 triliun disiapkan
negara guna mempercanggih senjata.
Anton menilai upaya
pemerintah melengkapi alutsista TNI itu adalah langkah bagus. Apalagi
pasokannya melibatkan berbagai negara. Persaingan Rusia, Amerika
Serikat, Korea Selatan, dan China harus dimanfaatkan untuk pembangunan
alutsista.
Tapi, agar jet tempur itu tak jadi persoalan di dalam
negeri, pengadaannya mestilah transparan, dan menghindari tangan
broker. “Dokumen transaksinya lebih baik terbuka, kalau perlu
melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Anton.
Source
No comments:
Post a Comment